TablighAkbar yang rencananya akan dilaksanakan pada Jumat malam (29/10/2021) di Fasum RW 18 Perumahan Rhabayu, Sei Langkai -Sagulung, akan menghadirkan Al Habib Jindan bin Novel bin Jindan, Al Habib Fauzi Risal Al Munawar dan Kedubes Palestina untuk Indonesia Dr.Zuhair Al-Sun. "Iya, persiapan sudah kita matangkan. DariIsmail Marzuki Hingga Tutty Alawiyah, Anies Resmikan Nama Kampung dan Jalan. BY Muhammad Sanding. INDOWORK.ID, JAKARTA: Gubernur DKI Jakarta Anies Rasid Baswedan tampak girang ketika mendapatkan pantun dari Ketua Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Abdul Syukur. Memadu 22 Jalan Habib Ali Bin Ahmad (sebelumnya Jalan di Pulau Panggang). Berikut zona dan gedung dengan nama Tokoh Betawi: 1. Kampung MH Thamrin (sebelumnya bernama Zona A) 2. Kampung KH. Noer Ali (sebelumnya bernama Zona Pengembangan) 3. Kampung Abdulrahman Saleh (sebelumnya bernama Zona B) 4. Kampung Ismail Marzuki (sebelumnya bernama Zona AgendaTurba Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur 2021 dalam rangka Silaturahim dan Konsolidasi Jam'iyyah ke Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bondowoso dan Situbondo di Graha NU, Kota Kulon, Bondowoso, Ahad (7/11), dihadiri langsung Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar.. Pengasuh Pondok Pesantren Tahun1945, Maimun menimba ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Saat itu, usianya baru menginjak 17 tahun. Ia diasuh oleh para ulama di Lirboyo, antara lain: Kiai Haji Abdul Karim atau Mbah Manab, Kiai Mahrus Ali, juga Kiai Marzuki. Baca juga: Berpulangnya Ulama Penggagas Islam Nusantara. Jumat 21 Juli 2017. KH. AMIDHAN SABERAH. KH. Amidhan bin H. Saberah, lahir di Alabio Amuntai, Jum’at, 17 Februari 1939 M (bertepatan dengan 27 Zulhijjah 1357 H). Setelah tamat SR (1952) melanjutkan ke PGAN di Banjarmasin. Kemudian belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta (1959). Pada tahun 1964 mendapat tugas belajar ke Sentrasentra intelektual ulama Betawi yang dapat ditelusuri dari abad ke-14 sampai pertengahan abad ke-19, kemudian dari pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-21. Pengertian ulama Betawi di sini adalah ulama dari kalangan yang bukan Habib, Sayyid. Di sentra-sentra intelektual inilah transmisi ilmu-ilmu keislaman di masyarakat Betawi terjadi melalui Perludi ketahui bahwa tatkala organisasi NU akan masuk ke Batavia/Jakarta, para Ulama NU terlebih dulu meminta restu AlHabib Ali bin Abdurrahman AlHabsyi Kwitang, lalu Habib Ali meminta kepada KH Ahmad Marzuki bin Mirshod muara untuk melihat perkembangan NU bila khusus didaerah Jombang, untuk melihat NU secara lebih dekat. MbahKiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. KH AHMAD MARZUKI BIN MIRSHOD (1293 – 1353 H/1876 – 1934 M) Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). KH Noer Alie lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan H. Anwar bin H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada tahun 1914 di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap ( Kabupaten ) Meester Cornelis, Residensi Batavia, sebelum diganti menjadi Desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan, LaluHabib Ali Kwitang ditanya bagaimana sikapnya tentang NU. Habib Ali Kwitang kemudian mengundang salah seorang muridnya, KH Ahmad Marzuki bin Mirshod, untuk menyelediki seluk-beluk NU. Habib Ali Kwitang, terang Anto, lalu mengutus Kiai Marzuki untuk datang ke tempat Hadratussyekh Hasyim Asy’ari untuk mencatat apapun yang dilihatnya di sana. KetuaPWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar mengenal Gus Hilman sebagai pribadi yang murah hati dan suka menolong. “Dia (Gus Hilman) itu personality-nya bagus. Dia peduli, guyub dan entengan oranganya,” kata Kiai Marzuki ketika ditemui setelah mengimami salat jenazah Gus Hilman di Ponpes Al Hikam, Kota Malang, Rabu (18/12/2019). KH Sufyan Nor bin Marbu bin Abdullah al-Banjari, lahir di Amuntai, Selasa, 11 Juni 1968 M (bertepatan dengan 14 Rabiul Awwal 1388 H). Adalah seorang hafizh al-Qur’an yang juga ahli dalam pembacaan qira’at 7. Beliau adalah adik dari Syekh Nuruddin Marbu al-Banjari. Sejak usia 5 tahun dibawa orang tua hijrah ke Mekkah al-Mukarramah (tahun 1974). PencetusHari Santri KH. Thoriq bin Ziyad mengatakan jika momentum Hari Santri Nasional bisa menyatukan seluruh semangat sekaligus menumbuhkan patriotisme di kalangan santri. Hal itu diutarakan dalam webinar “Santri dan Taman Sari Kebhinnekaan Indonesia” sebagai momen peringatan Hari Santri Nasional oleh DPC GMNI Surabaya. Gus Thoriq, begitu ia akrab f9qVyt9. As – Syaikh Ahmad Marzuki bin Mirsod Guru Marzuki Jakarta Minggu, 24 Februari 2019 , NU Toline Masyarakat Betawi biasa menyebutnya dengan Guru Marzuki, yang membedakannya dengan sebutan muallim’ dan ustaz’, meskipun sekarang dalam beberapa tulisan terkadang disebut dengan Kiai Marzuki. Guru’ adalah level tertinggi dalam derajat keulamaan di kalangan masyarakat Betawi atau Jakarta tempo dulu. Ia adalah seorang ulama Jakarta atau Betawi dari akhir abad ke-19 dan awal ke-20. Orang biasanya menyebutnya Guru Marzuqi Cipinang Muara walau di kitab-kitab yang dikarangnya ia menulis namanya dalam bahasa Arab Melayu tidak ada kata Cipinang, yaitu Guru Marzuqi Muara. Ada yang menulisnya dengan Marzuki, bukan Marzuqi. Saya terakhir kali berkunjung ke makamnya yang berada di Kompleks Masjid Jami Al-Marzuqiyah Cipinang Muara Senin, 1/12/2014, tertulis di poster silsilah namanya dengan tulisan Marzuki. Nama Lengkap Guru Marzuqi adalah As-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Abdurrohman bin Sulthon yang diberikan gelar dengan “Laksmana Malayang” dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Pattani, Thailand Selatan. Ibunya bernama Hajjah Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur. Al-Marhum Haji Syihabuddin adalah salah seorang khotib di masjidf Al-Jami’ul Anwar Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur. As-Syekh Ahmad Marzuqi dilahirkan pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Romadhon 1293 H di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Batavia Jakarta Timur. Usia 9 tahun ayahanda Al-Marhum berpulang ke Rohmatulloh dan diasuh oleh ibunda tercinta yang sholehah dan taqwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yang sangat sederhana. Usia 12 tahun beliau diserahkan kepada sorang alim al-ustadz al-hajj Anwar Rohimahulloh untuk mendapat pendidikan dan pengajaran Al-qur’an dan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya untuk bekal kehidupannya dimasa yang akan datang. Selanjutnya setelah berusia 16 tahun, untuk memperluas ilmu agamanya, maka ibundanya menyerahkan lagi kepada seorang alaim ulama al-allamah al-wali al-arifbillah dari silsilah dzurriyah khoyrul bariyyah SAW Sayyid “Utsman bin Muhammad Banahsan Rohimahullohu ta’ala. Melihat kejeniusan dan kekuatan hafalan dari Marzuki muda, pada usianya keenam belas tahun, Saayyid Utsman mengirimnya ke Makkah untuk belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits hingga mantiq. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga, dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan serta dikembangkan. Guru-gurunya di Makkah diantaran adalah Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad Ridwan, Syaikh Syaikh Hasbulloh Al-Mishro, Syaikh Umar Al-Sumbawi, Syaikh Mukhtar `Atharid, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz At-Tarmisi, Syaikh Sa`id Al-Yamani, Syaikh Abdul Karim Ad-Dagestani dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Dari gurunya yang lain, yaitu Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah, Guru Marzuqi memperoleh ijazah untuk menyebarkan Tarekat Al-Alawiyah, Setelah selama 7 tahun beliau mukim di Makkah, kemudian datang sepucuk surat dari Sayyid Utsman yang meminta agar Syaikh Ahmad Marzuqi dapat kembali ke Jakarta, maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Makkah beliau kembali pulang ke Jakarta dengan tugas menggantikan Sayyid Utsman guru beliau dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya. Tugas yang diamanatkan ini dilaksanakan sebaik-baiknya hingga sampai sayyid Utsman berpulang ke Rohmatulloh. Guru Marzuki juga mempelajari tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata, yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Usman bin Hasan al-Dimyati. Tarekat Alawiyyah ini merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia. Tarekat ini cukup populer di Hadramaut yang merupakan daerah asal para pendakwah yang membawanya ke Asia Tenggara. Di Indonesia, tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula menetapkan syaikh tertentu. Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawatib bacaan rutin sehabis salat wajib 5 waktu yang diwarisi secara turun temurun sejak Rasul Saw, dan sahabatnya. Para pemukanya juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong untuk selalu membaca rawatib dan wirid-wirid. Pada tahun 1340 H, ia melihat keadaan di Rawa Bangke Rawa Bunga sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengembangkan agama Islam, karena lingkungannya yang sudah rusak. Ia segera mengambil suatu keputusan untuk berpindah ke kampung Muara. Disinilah ia mengajar dan mengarang kitab-kitab di samping memberikan bimbingan kepda masyarakat. Nama dan pengaruhnya semakin bertambah besar, karena bimbingannya banyak orang-orang kampung memeluk agama Islam dan kembali ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Tak hanya itu, para santri dan pelajar banyak berdatangan dari pelosok penjuru untuk menimba ilmu kepada beliau. Sehingga tepat kalau akhirnya kampong tersebut dijuluki “Kampung Muara”, karena disanalah muaranya orang-orang yang menuntut ilmu. Pada pagi hari jum’at jam WIB tanggal 25 Rajab 1352 H, Guru Marzuki wafat. Jenazahnya dikebumikan sesudah sholat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai lapisan masyarakat, yang jumlahnya amat banyak sehingga belum terjadi saat-saat sebelumnya. Acara sholat jenazahnya diimami oleh Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama NU memberikan penghargaan kepadanya karena telah ikut mendirikan NU di Batavia/ Jakarta pada tahun 1928 dan ia juga menjadi Rais Syuriahnya hingga wafat. Salah seorang cucunya, KH. Umairah Baqir anak dari KH Muhammad Baqir menikah dengan adik kandung seorang tokoh NU terkenal, KH. Idham Chalid . Adapun kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah, berisi tentang fiqih, akhlak, akidah, yaitu Zahrulbasaatin fibayaaniddalaail wal al-`ajmiyah fii ma’rifati tirof minal alfadzilarobiyah. Miftahulfauzilabadi fi’ilmil fiqhil fibayaniakhlaqi bani balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral isaawi wal `ibaad. Guru Marzuqi dijuluki sebagai “Gurunya Ulama Betawi”, dalam pengertian, dari murid-murid yang didiknya banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka, di dalam satu keterangan ada sekitar empat puluh satu ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah Mu`allim Thabrani Paseban kakek dari KH. Maulana Kamal Yusuf, KH. Abdullah Syafi`i pendiri perguruan Asy-Syafi`iyyah, KH. Thohir Rohili pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah, KH. Noer Alie Pahlawan Nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi, KH. Achmad Mursyidi pendiri perguruan Al-Falah, KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Al-Wathoniyah, KH. Ahmad Zayadi Muhajir pendiri perguruan Az-Ziyadah, Guru Asmat Cakung, Pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi, KH. Muchtar Thabrani Pendiri YPI Annuur, Bekasi, KH. Chalid Damat pendiri perguruan Al-Khalidiyah, dan KH. Ali Syibromalisi pendiri perguruan Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta .Syekh Ahmad Marzuki Mirshod. Syekh Ahmad Marzuki merupakan salah satu mahaguru ulama Nusantara yang mempunyai peranan penting dalam dakwah Islam di tanah Betawi Jakarta. Beliau mendapat gelar Guru Marzuki. Syekh Ahmad Marzuki lahir dari pasangan Syekh Ahmad Mirshod dan Hajjah Fathimah binti Haji Syihabuddin Maghrobi Al-Maduri. Ibunya masih memiliki garis keturunan dari Maulana Ishaq Gresik Jawa Timur. Dari jalur ayah, beliau memiliki silisah nasab yang berasal dari bangsawan Melayu Pattani. Nama lengkapnya adalah KH KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani. Ahmad Marzuki lahir pada malam Ahad 16 Ramadhan 1293 H 1876 M di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur. Ayahnya wafat saat dia berusia 9 tahun. Dia belajar agama kepada Habib Utsman bin Muhammad Banahsan pada usia 16 tahun. Sebelumnya, dia belajar al-Quran kepada Haji Anwar. Penimbaan ilmunya dilanjutkan ke Makkah. Guru-guru Syekh Ahmad Marzuki di Tanah Haram antara lain Syayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Kepulangan ke bumi Nusantara berawal dari sepucuk surat yang diterima Ahmad Marzuki dari Sayyid Utsman. Syekh Ahmad Marzuki merintis dakwah dan mengajar di Kampung Muara. Banyak penduduk setempat memeluk agama Islam dan tidak sedikit santri dari pelbagai daerah berdatangan menimba ilmu kepada beliau. Guru Marzuki mengarang sejumlah kitab dalam bahasa Arab seperti Sabilut Taqlid, Tuhfatur Rahman fi Bayan Akhlaq Bani Akhir Zaman, Sirajul Mubtadi dll. Laqsana Malayang Guru Marzuki juga memiliki kepedulian besar kepada gerakan kebangsaan. Beliau turut berkontribusi dalam mengembangkan Nahdlatul Ulama di tanah Betawi. Syekh Ahmad Marzuki wafat pada Jumat pagi tanggal 25 Rajab 1352 H 1934 M. Shalat Jenazah diimami oleh Habib Ali bin Abdurrohman al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Jenazahnya dimakamkan sesudah shalat Ashar. Infografis oleh Ahmad Hudaepi. Seorang tokoh karismatik di Batavia Jakarta pada abad 20, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang lahir di Jakarta, 20 April 1870 pernah memproklamasikan diri sebagai warga NU. Ia menyatakan hal itu pada tahun 1933 disaksikan salah seorang pendiri dan pemimpin NU, KH Abdul Wahab Chasbullah. Peristiwa Habib Ali Kwitang itu disaksikan oleh 800 ulama dan 1000 orang warga umum DKI Jakarta. Mereka juga turut serta dengan pengakuan Habib Ali Kwitang, menjadi warga NU. Peristiwa tersebut diabadikan oleh koran Belanda, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 20 Maret 1933. Sebetulnya, sebelum Habib Ali Kwitang memproklamasikan diri sebagai Nahdliyin, pada tahun 1928, NU sudah berdiri di Jakarta yang dipimpin KH Ahmad Marzuki bin Mirshod yang dikenal dengan panggilan Guru Marzuki. Guru Marzuki mendirikan NU atas izin gurunya, yang tak lain adalah Habib Ali Kwitang sendiri setelah melakukan penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Habib Ali Kwitang Berpidato di Muktamar Ke-7 NU di Bandung Habib Ali Kwitang merupakan salah seorang tokoh yang hadir pada Muktamar NU ketujuh di Bandung pada tahun 1932. Muktamar NU Bandung berlangsung pada tanggal 12 sampai 16 Rabiul Tsani 1351 H bertepatan dengan 15 sampai dengan 19 Agustus 1932 M. Muktamar itu diakhiri dengan openbaar rapat umum yang berlangsung di masjid Jami Kota Bandung. Pada rapat umum itu, Masjid Jami Kota Bandung dihadiri sepuluh ribu kaum Muslimin yang hadir dari kota-kota terdekat sekitar Jawa Barat, para peserta muktamar dari berbagai daerah di Indonesia, para pengurus Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama HBNO, sekarang PBNU. Menurut laporan muktamar tahun itu, hadir 197 ulama dan 210 pengiringnya dan tamu lain-lain dari 83 daerah di Indonesia. Para ulama itu itu menyelesaikan beberapa persoalan yang diajukan jauh-jauh hari dari berbagai cabang. Mereka berhasil menyelesaikan persoalan nomor satu hingga 12 secara berurutan. Kemudian mereka membahas langsung nomor 23 oleh karena sangat urgen segera diselesaikan. NU DKI Jakarta Tidak Berkembang Meskipun Habib Ali mengizinkan NU berdiri di Jakarta, tapi sayangnya tak berkembang dengan baik. Pasalnya, Habib Ali Kwitang tak mau terlibat lebih dalam di NU dengan mencantumkan namanya di kepengurusan. Ia hanya mengizinkan dan mengikuti acara besar NU seperti muktamar. Menurut Anto Jibril, seorang kolektor arsip Habib Ali Kwitang, saat mengisi acara Kajian Manuskrip Ulama Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu 27/4/2019, Habib Ali tak mau mencatatkan diri sebagai pengurus NU karena ia memegang fatwa gurunya, Habib Utsman yang memintanya untuk tidak mencantumkan diri di organisasi apa pun. Ini menjadi keresahan Guru Marzuki. Tak banyak ulama dan kiai yang berminat. Juga masyarakat umum. Maka, suatu ketika, Guru Marzuki berkata kepada Habib Ali Kwitang. “Ya Habib, engkau yang menyuruh aku mendirikan NU di DKI Jakarta, tapi engkau tak mau ikut di dalamnya,” begitu kira-kira pernyataan yang bernada permintaan dari Guru Marzuki. Dari situlah, maka terjadi peristiwa Habib Ali Kwitang memproklamasikan dirinya sebagai warga NU secara terbuka di hadapan 800 ulama dan 1000 warga Jakarta. Mereka ikut keputusan Habib Ali. Salah seorang di antaranya adalahHabib Salim Jindan. Menurut Anto Jibril, peristiwa itu tersebut menjadi perhatian media massa pada zamannya, termasuk koran Belanda tersebut. Dua bulan setelah peristiwa itu, DKI Jakarta menjadi tuan rumah muktamar NU kedelapan, yang berlangsung bulan Mei 1933 yang berlangsung di daerah Kramat. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut, sementara Hadratussyekh berhalangan hadir. Setahun setelah muktamar itu, Guru Marzuki wafat. Profil Singkat Habib Ali Kwitang Habib Ali Kwitang hidup dalam rentang waktu 1870 M hingga 1968 M yang dikenal dengan pengajiannya di Majelis Taklim Kwitang. Ia dikenal dekat dengan dengan para kiai Betawi dan Kiai NU, di antaranya adalah Menteri Agama KH Wahid Hasyim. Konon beragam keputusan di kementerian agama, sering didiskusikan terlebih dahuli dengan Habib Ali Kwitang. Sebagian dari kiai Betawi adalah muridnya Habib Ali yang dianggapnya sebagai anak angkat. Ia mempersaudarakan para kiai Jakarta satu sama lain sehingga ukhuwah di kalangan mereka menjadi semakin rekat, selain jalur perkawinan. Penulis Abdullah Alawi Editor Fathoni Ahmad 1293 – 1353 H/1876 – 1934 M Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia Betawi. Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia. Masa Pertumbuhan dan Menuntut IlmuPada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik turats dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun. Guru-guru di HaramainSelama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani w. 1329 H., Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami w. 1354 H., Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori w. 1349 H, Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi w. 1337 H., Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi w. 1338 H., Syekh Sa’id al-Yamani w. 1352 H, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi w. 1331 H., Syekh Muhammad Ali al-Maliki w. 1367 H. dan lain-lain. Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah maani, bayan dan badi, fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq logika, fara’idh, hingga ke ilmu falak astronomi. Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi w. 1331 H. yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan w. 1304 H/1886 M., Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah. Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University hal. 63 – 66, Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya. Sistem Mengajar dan Para MuridnyaSesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta termasuk Bekasi. Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing tupai. Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya. Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi, KH. Mukhtar Thabrani pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi, KH. Abdul malik putra Guru Marzuki, KH. Zayadi pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender, KH. Abdullah Syafi’i pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin, KH. Ali Syibromalisi pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta, KH. Abdul Jalil tokoh ulama dari Tambun, Bekasi, KH. Aspas tokoh ulama dari Malaka, Cilincing, KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender, dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik Guru Malik, putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir Rawabangke, KH. Abdul Mu’thi Buaran, Bekasi, KH. Abdul Ghofur Jatibening, Bekasi.Guru Marzuki dan Jaringan Ulama BetawiDalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu KH. Moh. Mansur Guru mansur dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid Guru Majid dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid Guru Khalid dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli Guru mahmud dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni Guru Mughni dari Kuningan-Jakarta Selatan . Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia Jakarta dan sekitarnya. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi w. 1388/1968 . Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.

kh marzuki bin mirshod